Giant Sea Wall Penyelamat Kota Jakarta dari Kebanjiran?
Berawal dari perjanjian Joko Widodo usai resmi terpilih sebagai presiden ketujuh Indonesia berdampingan dengan Jusuf Kalla. 22 Juli 2014, saat menyampaikan pidato kemenangan di atas kapal pinisi bernama Hati Buana Setia di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Jokowi mengucapkan kalimat tentang pentingnya posisi laut bagi Indonesia,
“Sebagai
negara maritim, samudra, laut, selat dan teluk adalah masa peradaban kita. Kita
telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, dan memunggungi selat
dan teluk. Ini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva
Jayamahe’, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan kita di masa lalu bisa
kembali.”
Dimulai dari film documenter garapan dari
Watch Doc berjudul “Rayuan Pulau Palsu” merupakan isi sudut pandang detail reklamasi
dan permasalahannya dari berbagai daerah seperti Palu, Manado, Surabaya, dan
Bali. Isi dokumentasi sangat berbeda dengan apa yang kita lihat di media
berita, adanya unjuk rasa setiap nelayan mencari ikan yang tak semudah dulu,
suara penolakan reklamasi, sampai nelayan beramai-ramai menyegel Pulau G di
area reklamasi Jakarta Utara. Di dalam video itu ada tampak gambaran Drone,
detail pada objek, hingga grafis nan akurat menjadi nilai tambah film documenter
berdurasi sekitar satu jam.
Dari video Rayuan Pulau Palsu menghadirkan
renungan. Benarkah dengan adanya Pulau Palsu, Jakarta akan bebas dari banjir?
Benarkah reklamasi itu diperlukan? Untuk siapa kah? Atau ada sesuatu rencana
tersembunyi yang akan dilaksanakan antara sang penguasa dan pengusaha?
Untuk penjelasan mengenai Giant Sea Wall
Giant
Sea Wall adalah
sebuah tanggul laut raksasa yang membentengi Teluk Jakarta. Protek dengan
panjang 30 km dan bernilai diatas Rp 200 triliun tersebut dirancang untuk
mengatasi banjir akibat kenaikan permukaan air laut, membersihkan air sungai sebelum
ke laut dan reklamasi pantai. Namun banyak sekali tidak mendukung proyek besar
karena ada berpendapat proyek salah kaprah akan lebih banyak merugikan.
Kenyataan
Jakarta itu hamper tidak ada terjadi kebanjiran laut kalau pun iya itu karena
terjadi penurunan muka tanah, bukan perubahan muka laut. Sebaliknya, tanggul
laut raksasa akan memperparah banjir di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.
Kehadiran tanggul laut akan memperpanjang alur sungai sehingga memperlambat aliran
air.
Dampak
lain adalah penutupan dua pelabuhan perikanan Nusantara. Ribuan nelayan harus
dipindahkan. Pembangkit Listrik Muara Karang juga harus ditutup karena aliran
air pendingin tidak lagi tersedia. Kalaupun dipertahankan, biaya operasinya sangat
besar karena memerlukan pompa yang berjalan terus. Tanggul laut raksasa yang
direncanakan dalam sistem tertutup membuat air tidak mengalir. Karena itu,
kualitas lingkungan Laut Jakarta akan rusak.
Awal
Mula
Muka
air laut dipengaruhi pasang surut, tsunami, badai, dan pemanasan global.
Fluktuasi muka air laut di Jakarta lebih banyak dipengaruhi pasang surut.
Jakarta
berada pada perairan dangkal dan terlindung dari tsunami. Ancaman tsunami untuk
Teluk Jakarta berasal dari Selat Sunda (Gunung Krakatau). Sebelum merambat ke
Laut Jawa, tsunami harus melalui Selat Sunda yang sempit dan dangkal sehingga
sebagian energi hilang. Gelombang tsunami yang merambat di Teluk Jakarta juga
sangat kecil karena berada dalam daerah terlindung.
Posisi
Teluk Jakarta sangat jauh dari pusat badai di Laut China Selatan. Perubahan
muka air laut akibat badai akan lebih besar dampaknya di Malaysia dan
Kalimantan dibanding di Jakarta.
Pemanasan
global tidak hanya mengancam Jakarta, tetapi juga kota-kota lain di dunia.
Kelihatan sekali pejabat DKI memperlakukan Jakarta sebagai kota cengeng yang
tidak terurus dan diperbodoh konsultan asing.
Jadi,
Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa.
Usulan
Belanda
Tanggul
laut raksasa adalah proyek peninggalan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, diusulkan
konsultan Belanda. Mereka menyebutnya Sea Dike Plan Tahap III, dibangun
tahun 2020-2030. Sesuai permintaan Gubernur DKI Jakarta yang baru, Joko Widodo,
Menko Perekonomian setuju mempercepat ide ini langsung pada tahap III tanpa
melalui tahap I dan II.
Peta
tata letak menunjukkan, tanggul laut raksasa Jakarta tidak sama dengan Palm
Island Project di Dubai yang jadi acuan Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja
Purnama. Tanggul laut raksasa dirancang dalam sistem tertutup sehingga tidak
terjadi putaran aliran air yang akan memperburuk kualitas perairan Jakarta.
Juga
tidak tampak akses keluar untuk Pelabuhan Perikanan Nusantara sehingga
fasilitas yang sangat penting ini harus ditutup. Karena itu, keputusan untuk
mempercepat proyek tanggul laut raksasa perlu dikaji ulang.
Selain
akan berdampak pada sulitnya Pembangkit Listrik Muara Karang mendapatkan air
pendingin, ditutupnya Teluk Jakarta juga menyulitkan jalur pipa untuk pasokan
gas dan minyak. Karena itu, sekali lagi, rencana ini harus dikaji saksama. Pipa
yang ada belum tentu mampu menahan beban tanggul, apalagi mengantisipasi risiko
penurunan tanah di tanggul itu.
Aliran
Sungai
Mari
kita lanjutkan uraian dengan melihat skema aliran air sungai ke laut setelah
tanggul laut raksasa dibangun. Dari tata letak yang disajikan dalam
laporan Jakarta Coastal Defense Strategy, tampak bahwa untuk
mempertahankan muka air di dalam tanggul diperlukan pompa yang harus bekerja
tanpa henti.
Bila
pompa rusak, Jakarta akan tenggelam. Ini bila kita menggunakan skenario
terburuk laju penurunan 10 cm per tahun. Diperkirakan, penurunan muka tanah
sepanjang 2010-2030 adalah sekitar 2 meter.
Tinggi
Sea Dike 3 ternyata tak sesuai. Kenyataannya, Sea Dike 3 akan dibangun pada
kedalaman lebih dari 8 meter, tak hanya 3 meter seperti yang disampaikan
konsultan Belanda. Karena itu, Pemerintah Indonesia harus hati-hati mengkaji
ide ini.
Jika
ukuran Sea Dike 3 disesuaikan dengan kedalaman air di jalur tanggul laut
raksasa tampaklah ukuran tanggul laut raksasa sangat besar bila dibandingkan
dengan hanya membuat tanggul di sepanjang pantai yang, menurut saya, merupakan
solusi lebih masuk akal dan murah. Tentu saja ketinggian tanggul disesuaikan
laju penurunan tanah.
Dari
segi biaya, pembuatan tanggul jauh lebih murah. River dike versi
penulis hanya lebih tinggi 1 meter dibandingkan river dike versi
konsultan Belanda. River dike yang lebih tinggi juga berarti
menampung air tawar lebih banyak.
Pembaca
bisa melihat dengan jelas, sistem yang saya usulkan tak memerlukan pompa untuk
mengalirkan air sungai ke laut karena memanfaatkan gravitasi.
Tanggul
sepanjang pantai tidak memerlukan pompa untuk mengalirkan air sungai ke laut.
Murah dan tidak perlu menutup fasilitas yang sudah ada.
Sekali
lagi bisa disimpulkan, Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa. Jakarta
cukup membuat tanggul sepanjang pantai pada daerah yang mengalami penurunan
tanah dan mempertinggi tanggul sungai. Jakarta harus segera melarang reklamasi
pantai karena akan memperparah banjir di kawasannya.
Comments
Post a Comment